Oleh: Deni Kurniawan As’ari, M.Pd. | Sekjen Dewan Perwakilan Mahasiswa UPI periode 1999-2000 dan Sekretaris Umum PGM Indonesia Kota Cimahi
Universitas Pendidikan Indonesia resmi memiliki rektor baru. Pasca pemilihan Rektor secara langsung pada 15 Mei 2020 lalu, Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A resmi dilantik oleh Ketua MWA UPI, Agum Gumelar menjadi Rektor UPI masa bakti 2020-2025 (16/6/2020). Sebelumnya melalui e-voting, Solehuddin yang berasal dari FIP sekaligus Wakil Rektor I UPI berhasil meraup 22 suara mengalahkan rivalnya Bunyamin Maftuh yang meraih 7 suara.
Kampus UPI dikenal sebagai Perguruan Tinggi
Negeri kependidikan paling tua. Awal mulanya merupakan sebuah perguruan tinggi
pendidikan guru yang kemudian bermetamorfosis menjadi Perguruan Tinggi Negeri
Berbadan Hukum. Bila menilik sejarahnya tahun 1954 UPI --- IKIP Bandung saat
itu, sebagai Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Kemudian tahun tahun 1958
berubah menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Tahun 1963
berubah kembali menjadi Institit Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Tiga
Puluh enam tahun kemudian berganti nama menjadi Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) yang dintaranya dirandai dengan pembukaan prodi non-pendidikan.
Tahun 2004 menjadi momen bersejarah ketika UPI dinyatakan sebagai Perguruan
Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN). Puncaknya tahun 2014 lalu, UPI
menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN-BH).
Prestasi
UPI pun tak boleh dipandang sebelah mata. Tahun 2016 lalu UPI mendapatkan akreditasi lembaga dengan peringkat A berdasarkan
surat keputusan nomor 2990/SK/BAN-PT/Akred/PT/XII/2016 dari BAN PT. Tahun 2020
ini juga beberapa prodi melakukan
akreditasi internasional yaitu dari AQAS (Jerman). Pencapaian tersebut perlu
mendapat apresiasi. Saya selaku salah satu alumni tentu merasa bersyukur dan
bangga. Sebagian alumni ada yang menjabat menteri, rektor di kampus negeri dan
swasta, kepala daerah, anggota DPR, bahkan hingga wakil ketua MA.
Terlepas
dari semua prestasi yang membanggakan itu. Menurut hemat saya ada beberapa
tantangan yang perlu dihadapi rektor UPI.
Pertama, perhatian pada
alumni. Tak dipungkiri. Alumni UPI jumlahnya ribuan dan tersebar di berbagai
daerah Indonesia. Rektor UPI ke depan perlu lebih memberi perhatian pada
alumni. Terutama alumni yang masih menganggur atau masih banyak yang jadi guru
honorer dengan gaji 250 ribu. Persoalan ini tentu bukan sepenuhnya tanggung
jawab rektor, namun sebagai salah satu
alumni saya melihat peran rektor UPI selama ini masih kurang. Rektor baru perlu memiliki
program khusus bagaimana memberdayakan alumni UPI. Kebijakan-kebijakan yang
berpotesni merugikan alaumni UPI perlu mendapat perhatian.
Kedua, reorganisasi
kelembagaan. Rektor perlu mekakukan penataan kelembagaan yang seiring sejalan
dengan perkembangan zaman. Jabatan-jabatan atau lembaga yang sekiranya tak
begitu penting dan efektif untuk kemajuan UPI perlu ditata kembali. Saat ini
tak sedikit lembaga yang hanya sebagai bentuk akomodasi. Secara fungsional
kurang diperlukan. Penataan ini bertujuan agar lembaga UPI lebih lincah,
progresif, dan lari cepat menuju visi misi yang ditetapkan rektor.
Ketiga, pemilihan pejabat
yang profesional. Selain penataan kelembagaan, rektor musti tegas dalam memilih
para pejabat kampus. Sudah saatnya dalam pemilihan berdasarkan prinsip
profesionalitas. Bukan lagi berdasarkan akomodasi tim sukses ansich atau karena
primordialisme fakultas. Merit system dan prinsip the
right man in the right job perlu diterapkan.
Keempat, membuka fakultas
baru. Berubahnya IKIP menjadi UPI adalah terbukanya kesempatan untuk membuka
fakultas non-kependidikan. Saat ini fakultas yang ada masih sama persis dengan zaman
IKIP dulu. Sudah waktunya rektor membuka fakultas baru seperti fakultas kedokteran, hukum, agama, teknik dan lainnya.
Kelima, pengembangan
kampus. Saat ini kampus utama berada di Jalan Setiabudi, Ledeng Bandung.
Gedung-gedung yang megah sudah dibangun. Karena lahan terbatas maka
perlu adanya pengembangan dan penataan pendirian gedung baru sehingga tetap
terlihat keindahannya dan tampak luas, asri, dan nyaman untuk perkuliahan.
Keenam, kesejahteraan
dosen dan tendik ditingkatkan. Seperti
yang disampaikan rektor tepilih bahwa kemajuan UPI tak hanya ditentukan oleh rektor
sendiri. Perlu dukungan penuh dari dosen dan tenaga pendidikan. Rektor baru musti
memperhatikan kesejahteraan mereka. Tunjangan dan penghargaan perlu
ditingkatkan. Terutama insentif yang berbasis pada kinerja.
Ketujuh, pemberdayaan
guru besar. Peran guru besar di tengah masyarakat Indonesia belum dirasakan maksimal.
Banyak persoalan bangsa yang luput dari perhatian guru besar UPI. Selayaknya para
guru besar aktif memberikan kontribusi terkait persoalan bangsa dan Negara.
Kedelapan, kreatif
mencari sumber dana. Konsekuensi logis dari UPI sebagai PTN-BH adalah rektor
musti kreatif dalam menggali dana. Hasil-hasil riset dan inovasi dosen yang
berpotensi untuk mendapat dana perlu disupport. Begitu pula potensi dan sumber
daya kampus untuk menambah income
perlu digenjot dan ditingkatkan. Penghasilan UPI musti terus dipacu agar meningkat
dari tahun ke tahun. Tentunya tantangan yang tak ringan bagi rektor baru.
Selain delapan tantangan
tersebut, tentu masih ada yang lainnya. Saya memotret sebagai alumni dari luar
yang terus melihat, mengamati, dan
menginginkan agar almamater UPI tercinta semakin berkembang dan maju
sebagaimana visi yang dicanangkan rektor UPI terpilih yaitu “UPI untuk kemajuan bangsa melalui kampus
merdeka.” Program UPI EDUN yang berarti “sae pisan” dengan singkatan Etis,
Digjaya, Unggul, dan Nanjeurnya tak hanya di atas kertas kerja. Namun,
dijewantahkan dalam program nyata. Semoga.
***